Senin, 20 Desember 2010



Happy Twenty Everyone! (2nd)

Now Playing:

¯ Vannesa Carlton – A Thousand Miles

¯ Taylor Swift – You Belong With Me

¯ Ne-Yo – Never Knew I Needed

¯ Armada – Pemilik Hati

¯ Glenn Fredly – Aku Cinta Padamu

Kisah ini bukan cerita tentang etimologi angka dua puluh ataupun juga asal-usul kata dua puluh itu sendiri. Bukan juga bagaimana orang bisa mengucapkan kata dua puluh ataupun apa keuntungan dan kerugian dari angka dua puluh. Hanya cerita singkat yang mungkin bisa memaknai angka dua puluh untuk diriku sendiri. Begini ceritanya...

Angka dua puluh yang mungkin bagi orang kebanyakan cuma hal yang biasa saja, namun bagiku sangatlah istimewa. Angka ini merupakan angka kedua yang aku sukai setelah angka empat, tanggal dan bulan kelahiranku sendiri. Bukan pula karena angka tersebut tergolong hoki (kabar-kabarnya) dari Feng Shui yang disebut Suhu Yo teman ayahku kemaren. Bukan juga karena ibuku sering mengadakan pesta kecil-kecilan, entah itu arisan atau sekedar syukuran, yang kalau aku hitung-hitung hampir semuanya dilakukan ditanggal dua puluh. Bukan juga karena pacarku ada dua puluh orang – karena memang tak sebanyak itu adanya. Tapi memang karena aku suka angka dua puluh. Makna dua puluh dalam hidupku memiliki tempat tersendiri. Yaaah, begitulah, yang pasti aku suka angka DUA PULUH.

Dua puluh, kalau aku lihat-lihat angka itu biasa saja. Ada angka dua didepannya seperti ini à 2 dan angka nol dibelakangnya seperti ini à 0, maka jadilah seperti ini à 20. Bukan, bukan itu maksudku. Angka tersebut, bila aku lihat dari sudut pandang orang awam, tidak ada istimewa-istimewanya. Tidak seperti angka delapan yang sempurna seperti ini à 8 yang tidak akan putus-putus bila digambar, atau angka sepuluh yang selalu dipuja-puja karena dianggap perfect dan menggambarkan skala sempurna dalam suatu penilaian, atau pula bukan seperti angka 6 dan 9 yang bisa dengan mudah menipu orang lain dengan kemiripan diantaranya.

Aku suka angka dua puluh sedari dulu. Terlebih lagi aku suka dia. Bingung? Hmm, begini, aku suka angka dua puluh jauh sebelum aku bertemu dengannya. Aku suka angka ini karena angka ini banyak membawa berkah di keluargaku. Kakak pertamaku lahir pada tanggal ini. Ayahku pun demikian. Ibuku? Tidak, beliau lahir ditanggal dua puluh dikurang angka kelahiranku. Aku suka angka ini, terlebih saat aku bertemu dengannya. Banyak yang terjadi pada tanggal ini.

Aku dan dia pertama kali bertemu di sebuah radio ternama di kotaku. Kebetulan aku disana berkewajiban menjual suaraku hanya untuk sesuap oreo. Kalau aku bilang nasi sepertinya terlalu berlebihan, toh yang berkewajiban membelikanku nasi masih ada dan sehat wal’afiat sampai sekarang – Alhamdulillah. Aku baru saja bekerja disana. Tepat tanggal dua puluh juga aku diangkat sebagai pegawai di tempat itu. Mengalahkan hampir dua puluh ribu orang yang mengikuti kompetisi yang sama, aku pun menjadi penyiar tetap disana. Aku diberikan kesempatan hari itu, tepat hari yang ke dua puluh.... empat aku bekerja, untuk menangani sebuah interview singkat. Disanalah aku bertemu dengannya untuk pertama kali. Tanggal dua puluh Juni 2008. Aku masih ingat sekali hari itu. Ia mengenakan baju favoritnya – yah paling tidak itu yang aku tahu setelah jalan dengannya dalam beberapa kesempatan – dan aku menyukainya. Ia terlihat gagah dengan baju hitam itu, sungguh.

Hampir dua bulan lebih kami tidak bertemu lagi, hingga akhirnya kami bertemu lagi untuk kesekian kalinya. Kali ini ia mengenakan baju yang berbeda, baju berwarna abu-abu. Hmm, agak sedikit jaim namun aku akui, ia terlihat gagah sekali saat itu.

Setelah pertemuan pertama – yang sebenarnya kedua bila dihitung dengan pertemuan kami di radio saat itu – kami mulai jalan santai. Terkadang ia yang menjemputku di radio, kadang ia menghampiriku di rumah, dan terkadang pula ia datang disaat aku kebagian jatah tugas di luar dan setia menungguiku hingga selesai. Ia terliat so sweet, terlebih saat ia menghampiriku hanya untuk memberikan lima lembar bungkusan berisi vitamin C seusai aku reporting langsung di lapangan. Haah, aku suka dia Tuhan. Sungguh apa yang ia kerjakan membuatku merasa sungguh istimewa. Ini nih yang membuatku susah melepaskannya.

Kami melewati banyak hal setelahnya. Hampir seminggu aku mengenalnya. Aku tahu aku suka dia, namun malangnya gadis yang menyusahkan ini, ia tidak tahu apa lelaki itu juga suka padanya. Hingga suatu hari setelah aku menjalani tugas luarku, tepat ditanggal sembilan belas Desember 2008, ia datang ke rumahku. Entah mengapa, mungkin karena aku cuekin, tiba-tiba ia bergegas pulang. Ingin sekali rasanya berteriak, “Jangan pulang, disini saja! Aku pengen kamu nemenin aku seakan hari besok nggak ada!” Cuma ia sudah pergi. Hah, mulut kaku ini terlihat cemen disetiap saat aku berhadapan dengannya.

Malamnya terjadi peperangan kecil yang menguntungkan. Bingung lagi mengapa bisa sebuah perang dikatakan menguntungkan? Yah, aku bisa bilang begitu karena dengan adanya peperangan itu aku dengannya bisa menyatakan perasaan satu dengan lainnya. Tepat tanggal dua puluh Desember 2008. Jam 12.10 WIB. Setelah adzan dzuhur. Di depan radio. Jus sirsak itu yang menjadi saksinya – ini juga salah satu alasan mengapa aku mencintai buah sirsak – dan kamipun saling memiliki untuk pertama kalinya.

Bulan pertama kami lewati dengan penuh kerikil kecil disekitar kami. Bulan demi bulan tahun demi tahun. Tahun pertama terlewati. Seperti pasangan lainnya, tak mungkin tak ada hambatan bagi kami untuk menjalani semuanya. Aku dan ia terkadang bisa sama atau bisa berbeda sekali. Oleh karena persamaan dan perbedaan yang terlalu itulah kami susah untuk menyatukan cerita dan kisah hidup kami berdua. Awalnya aku kira ini sungguh berat, namun seiring waktu berjalan ternyata kami bisa hinggap ditahun yang kedua ini. Saling menghargai, saling mempercayai, saling mendukung, dan saling mendo’akan. Resep paling mujur yang selalu ingin aku terapkan dalam diriku. Aku cinta dia dan aku percaya ia juga. Titik.

PS: Surat pertama yang ia kirimkan padaku.

I Love You J


Sayang Bucuuk J

Pertama kali ketemu hari sabtu siang di salah satu radio yang kebetulan dia lagi siaran disana, dan juga aku dan teman – teman ku disana diundang menjadi bintang tamu dalam acara Basket Ball yang diselenggarai oleh salah satu provider ternama di Indonesia. Tampak dari kejauhan wajahnya asing dan menurut ku dia sosok yang sangat menarik untuk berkenalan lebih jauh. Beberapa jam kemudian kitapun berkenalan, dan aku baru tau dia namanya “APRIL”, tapi aku ga tau nama lengkapnya siapa tapi yaa gak papa deh yang nama panggilannya udah tau hehehe. Setelah beberapa menit kemudian aku dan teman - teman ku masuk dalam ruangan siaran yang begitu dingin dan memulai perbincangan. Satu jam pun berlalu dengan canda tawa yang terjadi didalam ruangan siaran, sesampainya di ujung acara tak henti-hentinya canda dan tawa mengiringi perbincangan kita J.

Setelah itu gak lama kemudian aku dan dia pamit bahwa hari itu juga aku dan teman-teman ku ada jadwal latihan sekalian mempersiapkan pertandingan dalam acara itu. Entah kapan aku bisa bertemu dia lagi, semoga saja aku dan dia bisa bertemu lagi dan menonton ku dalam acara itu. Beberapa hari kemudian aku diajak salah satu teman aku untuk menemani dia kesana ke salah satu mall gede dikota ku, dan tanpa disangka aku bertemu dia lagi di mall yang sama yang mana dia lagi meliput salah satu acara yang diselenggarakan di mall itu. Hati ku pun campur aduk J. Rupanya dia masih bersaudara dengan teman yang mengajak ku ini, dan ini kesempatan aku untuk bisa jauh lebih kenal dan lebih dekat dengan dia. Beberapa menit kemudian aku ditelfon oleh teman-teman basket ku yang mana mereka mengajak aku, temanku dan dia untuk menonton cinema 21 pada hari itu juga. Dan kita pun bertiga berjalan ke lantai 4 menuju cinema 21 itu, kebetulan dia juga selesai dalam pekerjaannya. Aku sangat kaku sekali untuk berbincang-bincang dengan dia, malah dia sangat nyaman sekali ngobrol-ngbrol dengan saudaranya yang mana teman aku sendiri. Berat mulut dan lidah mengeluarkan kata-kata untuk menyapa dia, tiba-tiba dia menegur ku dengan kata “kok lo diam siih by” dan aku jawab “ga kok” (sambil terkejut dan terengah-engah) padahal biasa aja kan, kenapa aku mesti kaku gitu dengan dia. Hah.

Sesampainya kita di cinema 21 itu, bertemulah teman-teman basket ku yang kebetulan mereka sudah menunggu beberapa menit yang lalu. Dan tak seorangpun teman-temanku juga saudaranya menyuruh dia untuk bergabung dalam cerita-cerita pada waktu itu. Dengan memberanikan diri aku berusaha untuk menyapa dia dan mengajak dia ngobrol-ngobrol supaya dia ga sendirian lagi. Setelah aku bercerita panjang lebar dengan dia, kitapun ruangan dan memulai menonton film, kebetulan teman-teman ku memilih film horror. Aku pun terkejut karena aku sama sekali tidak menyukai dan takut menonton film horror, yaa mau ga mau aku harus masuk dan menonton film horror itu. Pada saat adegan yang mengejutkan aku pun terkejut dan menutupi nata dengan kerah baju dan aku tarik sampai menutupi kepala, teman dan dia pun menertawakan ku. Aku ga bisa ngomong apa-apa karena aku memang takut nonton film horror, melihat mukanya tertawa lepas pada saat aku menutupi wajahku dengan baju aku yang aku kenakan pada saat itu aku pun melihatnya senang dan bangga bisa buat dia tertawa walaupun tanpa memakai kata-kata.

Bersambung..^^

Entar kita sambung lagii yaa, masih banyak cerita yang aku akan luapkan disini J. Hehehehe

“Jujur dari hati yang paling dalam, aku sangat mencintai dia sampai kapanpun”

APRILIA SASMAR PUTRI

LOVE YOU SO

^_^


Rabu, 21 Juli 2010

Balada Cinta sang Penanya


Gue baru di sini. Baru kemarin menginjakkan kaki di sini, bahkan lingkungan sekitar gue saja belum sempat gue temui. Agak aneh memang. Anak seorang diploma terabsolute yang ada di negara ini, yang selalu mendapatkan apa saja yang ia mau, sekarang terdampar di kota kecil seperti ini. Dulu, waktu gue berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, perasaan nggak sesusah ini untuk beradaptasi. Damn! Kenapa harus ke kota sekecil ini sih gue diasingkan??!
Katanya gue mesti belajar dari kehidupan orang-orang disini. Haah.. Alasan! Kenapa nggak sekalian saja gue disuruh mengasing di kutub utara sana, kan lumayan juga, bisa bertemu salju yang dingin sekalian bukan orang-orang yang dingin seperti ini.
Kenapa urusan bokap mesti pindah ke sini?
Kenapa harta-harta keluarga gue nggak bisa bekerja disaat-saat genting seperti ini?
Kenapa gue nggak disuruh nyusul kak Dasta ke Australia saja?
Hufpht!

♪ ☺ ♫

Teet.
Teet.
Teeet.
Bel cempreng yang pastinya bakal buat gue sengsara itu berbunyi dengan lantangnya. Sial!! Bisa-bisanya dihari pertama ini jam weker gue ngadat! DAMN!! Once again I said, DAMN!!!
Sambil tergopoh-gopoh akhirnya gue berhasil mencapai ruangan paling ujung di tingkat dua dalam sekolah ini. Haah..
“Pagi Pak.”, senyum ramah gue selama ini belum ada yang bisa melawannya. Sayangnya itu nggak mempan dengan Bapak berkumis satu ini.
“Pagi pagi. Kamu tahu ini jam berapa? Kamu juga tahu sekolah ini masuknya jam berapa?!”, ujar Bapak itu. Jujur dari kumisnya saja gue berpendapat Bapak yang satu ini pasti galak mampus.
“Maaf Pak. Jam weker tadi pagi ngadat jadi bangun kesiangan deh Pak.”, bela gue.
“Tidak ada kata maaf, apalagi kamu murid baru bukan? Baik, anak-anak sekarang buka bukunya halaman 154. Tanggal berapa sekarang?”
Udah deh gue pasrah menerima semuanya. Hari pertama, jam pertama yang seharusnya gue sudah memperkenalkan diri gue dihadapan semua orang ini, malah sekarang gue dicuekin begitu saja. Sumpah! Awal yang benar-benar nggak asyik banget bagi gue.
Setelah hampir sepuluh menit gue berdiri di depan pintu masuk dengan tampang belo’on, akhirnya gue diacuhkan juga.
“Baik kamu, masuk.”, perintah Bapak berkumis itu. “Kamu tahu kesalahan kamu apa? Sekolah ini bukan milik nenek moyang kamu, jadi tidak bisa seenak jidat kamu datang ke sekolah ini. Semuanya ada peraturan. Untung kamu anak baru, biasanya saya tidak memperbolehkan anak yang datang terlambat untuk dapat mengikuti pelajaran saya. Jadi….”
Bla.. bla.. bla.. Gila juga ya nih guru. Terlambatnya cuma sepuluh menit, udah gitu disuruh berdiri sampai kaki gue serasa melayang semua, dan malah diceramahi sampai kuping gue pegal juga. Hari yang sial!, kutukku dalam hati.
“… Baiklah. Kamu sudah mengerti kan?”, tanya Pak Raden itu, tapi memang begitu adanya dan kujawab dengan anggukan kecil saja. “Baik, sekarang silahkan perkenalkan diri kamu ke teman-teman.”
Sial memang. Seorang Antrashya Prilsca Wibowo dipermalukan seperti ini dihari pertamanya sekolah. Seumur-umur belum pernah ada seorang guru yang berani seperti ini ke gue. DAMN! Awal yang “sangaat” baik, nggak tahu deh sampai kapan gue bakal tetap bertahan di kota ini.

♪ ☺ ♫

Sudah hampir lebih dari seminggu gue berada di kota yang super duper “dingin” ini. Cuacanya sih nggak bisa disebut dingin, karena memang suhu di kota ini tergolong tinggi, namun sikap dari masyarakatnya ini yang masih belum bisa gue mengerti. Dalam seminggu itu pula gue juga belum menemukan arti sesungguhnya dari perkataan Papi.
“Kamu pasti bisa belajar lebih menghargai orang lain di kota itu. Papi yakin kamu bisa Trash.”, perkataan terakhir Papi sebelum mendepak gue ke kota yang akan selalu gue ingat ini. But please, gue masih belum bisa menerjemahkan dari sisi mananya gue bisa belajar cara itu di kota ini. Dan satu hal, memangnya gue nggak bisa menghargai orang lain apa? Gue bisa kok. Yah, paling nggak Puschya dan Tanaya masih mau menjadi teman dekat gue kan?!
Trrt… Trrrt.. Trrrt..
Gue lihat layar handphone gue. Ada tulisan “AaaaPapzky calling…” tertera di sana.
“Hallo.”, ujarku menyapa Papi yang sekarang mungkin sedang sibuk dengan kertas segunungnya itu. Bukannya gue sok tahu, tapi ya memang itulah Papi. Pernah sekali waktu itu gue ke sana, tapi alhasil gue cuma disuruh duduk di ruangan Papi dan Papi pergi entah kemana bersama kertas-kertas dan urusannya.
“Trashya, biasakan pakai Assalamu’alaikum nya. Jangan cuma ‘Hallo’ saja.”, Papi menyerempet. Gilaa, baru juga satu kali itu gue ditelepon sudah diceramahi begini. Bukannya kangen dengan anak perempuan satu-satunya ini, malah diomeli seperti ini.
“Iya iya, maaf. Assalamu’alaikum Papi. Papi apa kabar? Sehat?? Mami?”, akhirnya bisa juga gue bersikap baik ditelepon begini. ‘Luar Biasa’.
“Alhamdulillah baik Trash. Kamu apa kabar nak?”
Alhasil hampir satu jam gue berbicara dengan Papi. Sempat beberapa kali Mami juga menimpali dan berbicara dengan gue. Dari seluruh isi pembicaraan gue menangkap sepertinya gue masih akan lama lagi berdomisili di kota terdingin yang pernah gue temui ini. Mami bilang beliau akan segera kemari, tapi entah kapan. Yang pasti tadi gue sempat mendengar isak tangis Mami saat menyudahi pembicaraan kami yang singkat itu. Kangen? Kalau memang iya pasti gue langsung ditarik kembali dari kota ini kan?!

♪ ☺ ♫

Hari ini adalah hari minggu ketiga gue berada di daerah ini. Huaaa!!! Ingin sekali rasanya gue berteriak meluapkan segalanya sekarang. Andai bisa lepas begitu saja, tapi ini susah sekali rasanya. Pernah merasakan dimana elu ingin sekali mencubit seorang anak kecil yang bermuka tembem, yang benar-benar membuat elu gemas banget, tapi nggak kesampaian karena dia anaknya tetangga elu yang galaknya minta ampun? Yah begitulah sekarang gue. Kepengen banget berteriak, tapi takut. Takut karena ini bukan daerah gue. Selama tiga minggu ini gue bertanya-tanya dalam hati. Banyak sekali pertanyaan yang ada dalam hati gue.
1. Kenapa gue mesti didepak ke kota ini?
2. Kenapa Papi sama Mami tega membiarkan gue sendirian tinggal di sini?
3. Kenapa Papi nggak menyewakan tempat yang lebih ‘pantas’ untuk gue tinggali, bukan gubuk derita yang sekarang gue tempati ini?
4. Kenapa mesti seorang anak diploma seperti gue harus terdepak ke sekolah yang menurut gue ‘low’ itu?
Masih banyak lagi pertanyaan yang bermulakan kata “kenapa” yang ada di pikiran gue. Dan pertanyaan yang paling mendasar dan meracuni pikiran gue adalah: “Kenapa seorang Antrashya Prilsca Wibowo sampai sekarang masih belum bisa ‘menaklukkan’ orang-orang baru disekitarnya??”. Pertanyaan yang satu ini benar-benar membuat gue bingung banget. Semua cara sudah gue lakukan, tapi hasilnya tetap saja NOL besar.
Suntuk dengan pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya sekarang gue memutuskan untuk berada di sini. Di tengah-tengah taman, yang kata orang-orang setempat sih memang begitu, tapi menurut gue lebih cocok disebut semak belukar dibandingkan taman, termenung sendirian.
Tiba-tiba dari kejauhan gue melihat sekelompok gadis berbaju muslimah sedang memegangi sebuah alat musik. Kalau tidak salah dulu neng Lastri, pembantu rumah tangga yang seumuran dengan gue, pernah menyebutkan namanya. Apa ya? Hmm, rabb.. rabb.. rabannna.. Ya ya, namanya ra-ba-na.
Tidak tahu apa yang dipikirkan hati gue, yang pasti sekarang gue ada di depan pintu masuk mushalla ini. Ada sekelompok muda-mudi yang berkumpul di tengah karpet merah di dalam sana. Well, gue nggak tahu apa yang akan mereka kerjakan dengan alat itu, tapi yang pasti satu hal. Lastri pernah bilang kalau alat itu selalu dimainkan sebagai alat musik tradisional dari Arab yang sering dimainkan di beberapa kota, dan mungkin saja salah satu yang dimaksud Lastri tadi adalah kota ini.
Sumpah! Posisi gue sekarang ini lebih bisa dibilang sebagai posisi seorang maling. Tapi, yah, apa boleh buat. Gue benar-benar penasaran akan apa yang mereka kerjakan di dalam sana.
Brak..
Semua orang di dalam sana melihat kearah gue. Damn! Kenapa pakai acara kesenggol pot bunga segala sih?! Alhasil sekarang gue menjadi pusat perhatian mereka.
Dengan tergopoh-gopoh, salah satu dari mereka membantu gue untuk berdiri. “Kamu tidak apa-apa?”, tanyanya.
Hanya gelengan kepala yang gue bisa lakukan untuk menandakan kalau gue baik-baik saja. Beneran deh, pernah nggak merasakan dimana elu ingin sekali masuk ke dalam tanah dan nggak muncul-muncul lagi untuk beberapa saat?! Itulah yang sekarang gue sedang rasakan. Malu euy, tertangkap basah saat mengintip, memecahkan pot bunga, dalam posisi yang benar-benar tidak enak seperti itu.
"Nama kamu siapa? Tinggal dimana?”, tanya gadis lainnya yang berbaju merah muda. Di alat yang ia pegang saat itu tertulis ‘Tatri’ dan tebakan gue sih itu adalah namanya.
Lagi-lagi gue cuma bisa menjawab dengan gelengan saja. SHIT! Kenapa gue jadi seperti orang bego begini sih?!
“Ya sudah bawa saja dia masuk Tri, beri dia minum. Sepertinya dia haus. Mari masuk..”, ajak gadis lainnya. Kalau yang satu ini namanya Anisa, paling tidak itu yang tertulis di alat yang ia pegang.
Gue duduk di pinggir mushalla. Memperhatikan latihan mereka. Pernah melihat orang yang bersemangat mengerjakan sesuatu hingga ia lupa akan segala hal yang ada? Itulah yang gue perhatikan sekarang. Mereka di sana terlihat seperti asyik sekali memukul-mukul alat yang mereka pegang. Entah itu hanya halusinasi saja, tapi gue bisa melihat ada aura yang berbeda keluar dari tubuh mereka saat mereka memukul alat itu sambil bersenandung seperti saat ini. Aura yang tidak bisa elu lihat hanya dengan kasat mata. Ini tuh benar-benar beda!

♪ ☺ ♫

Sudah berulang kali gue datang ke tempat ini. Pertamanya masih hanya melihat akan apa yang mereka kerjakan. Termasuk hal yang baru bagi gue. Dan sekarang gue diajak untuk ikut serta mereka bermain alat musik itu juga bersama-sama.
Kompangan. Ya, mereka menamainya seperti itu. Lucu, dan gue belum tahu artinya apa sampai saat ini. Whatever artinya, yang penting saat gue memainkan alat itu bersama mereka, rasanya ada sesuatu yang berbeda. Susah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Pernah merasakan dimana elu puas banget akan suatu hal yang hanya elu yang bisa mengerjakannya? Nah, itulah yang sekarang gue rasakan. Ada kepuasan tersendiri saat gue berhasil melakukannya. Ya, terlihat mudah sebenarnya dari luar, tapi kalau elu salah nada sedikit saja pasti yang akan terdengar bunyi yang aneh. Dan itu pasti akan merusak nada-nada yang berarti sesungguhnya menjadi arti yang lain.

♪ ☺ ♫

Tiga bulan kemudian…
Benar apa yang Papi bilang. Kota ini memang berbeda. Dari luarnya sih terlihat seperti kota kecil biasa yang tidak ada artinya. Bahkan mungkin kalau kita tanyakan pada orang lain yang ada di kota besar sana tentang kota ‘Jambi’ pasti hanya sebagian kecil saja yang mengetahuinya. Meskipun begitu, kota ini memberikan pengaruh yang besar kedalam hidup gue.
Mengenal arti dari perjuangan agar dapat survive hidup sendirian yang baru pertama kali gue lakukan, bertemu dengan orang-orang yang dingin dan mencari cara untuk dapat menaklukkannya, sampai akhirnya sekarang gue mengerti bagaimana pentingnya rasa peduli akan sekitar itu.
Dari merekalah gue belajar semuanya. Gue?? Bukan, bukan gue, tapi aku. Itu lebih sopan kata mereka saat pertama kali gue, eh aku maksudnya, berbicara dengan mereka. Katanya, sebutan gue itu tidak sopan dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menerimanya. Alhasil sekarang gue, eh aku, sudah mulai terbiasa menyebut diriku sendiri dengan sebutan aku bukan gue.
Perubahan kecil, tapi berdampak besar. Di sekolahan sekarang aku sudah mulai mempunyai teman yang sesungguhnya. Kata mereka, dulu mereka segan mendekatiku karena aku menyebut diriku ini dengan sebutan gue dan itu membuat mereka risih untuk berteman denganku. Dan sekarang, hanya dengan merubah hal yang sedikit itu saja aku bisa memiliki teman di sekolah itu. Ternyata pikiranku selama ini tentang anak-anak di kota ini yang super dingin itu salah. Bukan mereka yang dingin, tapi aku yang terlalu menutup diri untuk menghangatkan semuanya.
Tahu? Sekarang aku sedang ada di tengah-tengah perlombaan rabana. Bangga sekali rasanya ada suatu hal yang bisa aku lakukan di sini. Kami sedang berkompetisi untuk meraih kejuaran tingkat daerah, maka dari itu sekarang aku ada di sini. Bagiku, tidak terlalu penting menang atau kalahnya, namun kepuasannya itu yang selalu berhasil membuatku nyaman. Menyerasikan bunyi dengan yang lain itu tidak gampang. Sama halnya seperti saat kita harus peduli dengan kehidupan orang lain di sekitar kita agar kita pun juga bisa berjalan di kehidupan kita dengan lancar.
Terlalu berlebihan mungkin, tapi aku merasakan seperti jantungku juga ikut berbunyi. Senada dengan pukulan yang aku lakukan. Indah, damai. Sedamai hatiku saat ini yang mengetahui betapa pentingnya kepedulian terhadap orang lain. Kata tanya kenapa itu masih bersarang dihatiku. Namun kali ini berbeda.
‘Kenapa baru sekarang aku menyadari indahnya dunia dan hidup kebersamaan, bukannya sedari dulu saja?’
Itu yang saat ini masih ada di dalam benakku. Entahlah apa jawabannya, mungkin hanya Dia yang mengetahuinya, yang pasti kini aku berada di sini. Menemukan balada cintaku di sini. Di kota ‘terdingin’ yang sebenarnya memiliki hati yang hangat di dalamnya. Aku belajar untuk lebih peduli lagi, dan untuk itulah aku berada di sini. Di tempat ini.
Yah, di sini……






GLOSARIUM

Gue : Sebutan untuk saya atau aku di kota-kota besar.
Absolute : Hebat, mahir.
Nggak : Singkatan kata dari tidak.
Damn : Sial.
Bokap : Sebutan untuk ayah di kota-kota besar.
Nyusul : Singkatan kata dari menyusul.
Hufpht : Helaan nafas karena kecewa akan sesuatu.
Ngadat : Macet, rusak, tidak berjalan dengan sempurna.
Once again I said : Sekali lagi saya katakan.
Haaah.. : Helaan nafas tanda lega.
Galak mampus : Galak sekali.
Udah : Singkatan kata dari sudah.
Deh : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Sih : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Banget : Sekali.
Bla.. bla.. bla.. : Tidak mempunyai arti, kiasan untuk suatu pikiran atau
pembicaraan yang panjang.
Nih : Singkatan kata dari ini.
Gitu : Singkatan kata dari begitu.
But please : Tapi tolong, seperti orang yang tidak menerima akan suatu hal.
Kok : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Handphone : Alat komunikasi berupa telepon genggam seluler.
Assalamu’alaikum : Sapaan bagi seorang muslim saat ia bertemu atau memulai
pembicaraan dengan muslim lainnya.
Huaaa! : Tidak mempunyai arti, kiasan untuk mendeskripsikan suatu
teriakan.
Elu : Sebutan untuk kamu di kota-kota besar.
Neng : Sebutan untuk seorang gadis.
Well : Baiklah.
Brak.. : Kiasan untuk mendeskripsikan bunyi sesuatu yang jatuh.
Euy : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Shit : Benar-benar sial, lebih kasar dari kata damn.
Tuh : Singkatan kata dari itu.
Whatever : Terserah.
Nah : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Survive : Bertahan.
Super : Sangat.


Selasa, 20 Juli 2010

Bukan Romeo dan Juliet


Ini hanya sebuah kisah kasih sepasang remaja labil yang baru mencoba mengenal apa itu artinya cinta. Bukan sebuah hal yang penting untuk dicerna, namun benar adanya bila kita bisa mengamati apa yang terjadi diantara keduanya.

Bertemu awalnya disebuah acara di stasiun radio ternama di kota tersebut. Kata pertama yang terlintas dikedua benak masing-masing adalah "sombong", entah itu untuk si laki ataupun sang perempuannya. Setelah mencoba untuk saling bercengkerama dibeberapa menit pertama bertemu, akhirnya mereka bisa merasakan satu rasa yang muncul dimasing-masing benak, khususnya sang perempuan. Getar "cinta" (?), mungkin.

Hampir tiga bulan mereka terlepas dan tidak pernah mengacuhkan rasa yang 'sempat' muncul tersebut, hingga akhirnya merekapun bertemu lagi disuatu kesempatan. Berawal dari sana, banyak kesempatan penggugah pun terjadi begitu saja. Tanpa disengaja, rasa yang bertitle kan 'sempat' itupun merekah.

Banyak rintangan yang mereka temukan, mulai dari saat pertama kali mereka harus sama-sama jujur akan perasaan mereka masing-masing yang diwarnai dengan konflik tersendiri, hingga saat dimana mereka harus berulang-ulang kali terjatuh dan terbangun saat mereka sama-sama belajar mengenal hubungan mereka dan diri mereka yang satu dengan yang lainnya.

Ini memang bukanlah kisah "Romeo dan Juliet" yang berhiaskan seribu bahkan sejuta konflik namun tetap romantis, bukan juga "Cinderella" dan pangerannya yang ceritanya mulus hingga mendapatkan akhir "bahagia selamanya". Namun kisah mereka ini mungkin bisa diibaratkan seperti sepasang mata. Dengan bentuk yang sama, sifat yang sama, letak yang sama, keduanya mencoba untuk melihat pada satu titik yang sama. Semakin seringnya mereka menyamakan perbedaan dan membedakan persamaan, semakin mereka susah untuk dapat berjalan beriringan.

Ya benar, mereka hanyalah anak muda yang sedang BELAJAR mengenal arti kehidupan, khususnya apa itu artinya Ce I En Te A. Mereka mencoba untuk memahami satu dengan yang lainnya meskipun beribu-ribu bahkan berjuta-juta batu kerikil hingga batu besar dihadapan menghadang mereka. Ini bukanlah kisah Samson dan Delila, bukan juga kisah Mickeymouse dan Minimouse yang berakhir bahagia. Meski kisah yang sesungguhnya belum selesai dan belum pantas untuk dibicarakan akhirnya, namun mereka, khususnya sang perempuan, yakin kisahnya akan mempunyai akhir tersendiri. Entah bahagia seperti kisah "Snow White" dan pangerannya ataupun tragis ibarat, yah "Romeo dan Juliet" tentunya. :')



Dedicated for:
My *201208*
We'll see what'll happen to us on another day. We've learnt many things with our own ways. ILU. I've done my best for you. Maybe this's the last time I may remember you in both my real and my fake life, or maybe this's the beginning for us to step further. (^_^)

Sabtu, 05 Juni 2010

Sahabat Sejati (?)


Tiga sekawan yang sudah lama sekali tidak bertemu, yang telah terpisah oleh ruang dan waktu dalam jangka waktu yang lumayan lama. Mereka bertiga, sebut saja namanya Thari, Alle, dan Lya. Mereka bertiga bukan sahabat yang satu sekolah, yang selalu bersama kapanpun juga, namun hanyalah tiga perempuan yang sengaja dipertemukan oleh takdir dan dipersatukan dalam tali "persahabatan".

Saat pertama kali mereka bertemu adalah ketika mereka bertiga sama-sama menempati rumah di sebuah kawasan elit tertentu. Meski rumah mereka bertiga tepat bersebelahan, namun awalnya mereka tidak terlalu peduli akan diri yang lain. Hingga suatu hari mereka bertemu di taman kompleks yang ada. Thari yang lebih pendiam tergambar dari kacamata berantai yang selalu ia kenakan kemanapun ia berjalan, sore itu sedang khusyuk membaca komik kesukaannya di salah satu sudut taman. Ia terlihat tenang dan tidak bisa diganggu bila sudah berkutat dengan buku "Naruto" yang ia gemari itu. Serasa hanya ia dan tokoh-tokoh dalam komik itu saja yang ada, dalam dunianya. Berbeda lagi dengan Alle. Anak yang ceria, tergambar dari lesung pipitnya yang selalu tersungging tiap kali ia tersenyum lebar, hari ini lebih terlihat ceria lagi karena 'lesung' tersebut selalu tersungging di pipinya. Ia sedang merasakan rasa senang yang tidak terkira dikarenakan hari ini apa yang ia inginkan dapat tercapai, sebuah otopet mini. Maka dari itu, disinilah ia kini, mencoba otopet mininya di tengah-tengah taman kompleks ini. Dan yang terakhir, Lya. Kalau yang satu ini benar-benar berbeda. Lebih menarik namun sedkit freak. Ia sedang menggunakan baju lengan panjang plus celana pendek khaki nya lalu berkunjung ke taman saat itu. Raut mukanya lunak namun tegas, dan saat itu ia terlihat sedang sibuk dengan buku catatan kecil ditangannya, mencorat-coret beberapa kata dengan sesekali memperlihatkan raut muka berpikirnya. Meski tidak terlihat jelas apa yang sedang ia lakukan, namun kita bisa mengetahui bahwa ia sedang asyik menghitung rumus-rumus matematika yang ada didalam buku besar dihadapannya. Tertulis "Rumus Pintar Matematika" dihalaman judul buku tersebut. Janggal sekali buku tersebut disentuh oleh seorang anak SD sepertinya, namun itulah yang ada.

Mereka bertiga tenggelam dalam dan sangat dalam dikegiatan mereka masing-masing. Hingga insiden "takdir" yang berhasil menyatukan merekapun terjadi. Alle yang saat itu sedang asyik-asyiknya mengendarai otopet barunya terjatuh seketika setelah melalui tanjakan curam di dekat taman kompleks itu. Karena hanya ada Lya dan Thari saja di tempat itu, maka mereka mau tak mau merekapun harus membantu Alle juga.

"Nggak papa kan ya?", tanya Lya pada Alle seraya membantunya berdiri.

"Nggak, nggak apa-apa.", jawab Alle seraya tetap menyunggingkan senyum lebarnya meski darah yang mengucur deras dari pelipisnya terus mengalir.

Thari membantu mendirikan otopet mini Alle saat itu kemudian berkata, "Tapi itu darahnya ngucur terus, nggak papa tuh? Udah, diobatin dulu. Rumah kamu dimana memang?"

"Dipertigaan itu, rumahku belok kiri. Rumah ketiga yang pagarnya berwarna merah.", jawab Alle sambil tetap tersenyum, namun kali ini lebih tepat disebut meringis dibandingkan tersenyum.

"Ya udah kita kesana aja. Sini aku bantuin jalan.", ujar Lya sambil menggopohnya.

Setelah membantu membereskan semuanya seraya mengobati luka Alle dan berbicara panjang lebar, akhirnya Lya dan Thari pun izin kembali ke rumah mereka masing-masing.

"Eh, besok main aja yuk. Ternyata rumah kita bersebelahan, tapi sama-sama nggak tahu kalau kita ini tetanggaan. Hahaha.", tawa Alle dan Thari pun ikut memecah setelah mendengar celotehan Lya tadi.

"Oke oke. Sampai ketemu besok ya. Daaah.", ujar Thari sambil tersenyum.

"Daaah. Thanks ya buat hari ini.", ujar Alle sambil melambaikan tangannya kedua 'teman baru'nya tersebut.

Hari berganti hari mereka bertiga menjadi lebih akrab lagi. Memang, seperti semua cerita persahabatan yang ada, persahabatan mereka pun juga tidak selalu mulus jalannya. Ada kalanya mereka bertiga terpisah menjadi dua + satu, ada juga kalanya mereka berjalan sendiri-sendiri dikarenakan 'kerikil kecil' yang sering ada diantara mereka. Namun semua itu hanyalah hal yang berhasil membuat mereka lebih dewasa lagi menjalani semuanya. Mereka bisa lebih mengetahui lagi apa saja dan bagaimana cara menghadapi watak dari masing-masing mereka. Dan seperti sebuah bunga mawar putih yang berada dipot, rasa sayang mereka antar satu dan yang lainnya selalu disiram, dipupuk, dan dijaga dalam hati mereka masing-masing dengan cara mereka sendiri-sendiri.

Sampai suatu ketika salah satu dari mereka, yaitu Alle, harus rela mengucapkan kata pisah. Ayah Alle dipindahtugaskan ke luar kota, yang dimana ini juga berpengaruh untuk seluruh keluarga Alle. Alle harus pindah mengikuti ayahnya. Mereka bertiga sangat bersedih kala itu. Bila mereka boleh jujur, ingin sekali saat itu dihentikan dan tidak berputar agar Alle tetap bisa bersama mereka. Namun apa daya. Semua awal itu pasti mempunyai akhir dan semua pertemuan juga pasti ada perpisahannya. Siap ataupun tidak, itu nyata.

Setelah Alle pergi, tinggallah dua dari mereka. Thari dan Lya. Mereka tetap berjanji bersama dalam cipta, rasa, dan karsa yang mereka lalui. Hingga saat mereka berdua harus menentukan pilihan untuk kelanjutan masa depan mereka, mereka harus memilih antara persahabatan ataukah cita-cita. Lya yang mendapatkan kesempatan emas untuk beranjak ke "Negeri Seribu Kincir" untuk melanjutkan sekolahnya harus rela meninggalkan Thari yang lebih memilih untuk berkuliah di daerah tempat mereka tinggal itu juga. Meski ini adalah perpisahan kedua, namun ini tetap sama pahitnya dengan yang pertama. Maka mereka pun ingin sekali menghentikan waktu disaat itu juga.

Beberapa tahun kemudian.

Meski mereka masih tetap berkomunikasi via telepon, e-mail, dan beberapa jejaring sosial yang ada didunia maya, mereka tetap masih merasakan rasa rindu yang sangat teramat dalam untuk bercengkerama secara langsung.

Mereka hanya manusia biasa yang hanya bisa berandai-andai dan menginginkan sesuatu, namun tetap Allah swt., saja yang berkemampuan untuk merealisasikan segalanya.

Setelah empat tahun lebih mereka tidak bertemu satu dengan yang lainnya, dan saat ini lah mereka dapat bertemu. Tepat disini di acara perkawinan Thari. Kalian tahu itu dimana? Tempat pertama dimana mereka ditakdirkan bertemu untuk selanjutnya menjalin kisah "persahabatan" yang lebih suka mereka sebut KAWAN SELAMANYA. Karena sahabat hanyalah sebuah kata janji yang terlalu berat yang bisa hancur kapan saja, namun "kawan selamanya" adalah dua kata yang selalu mereka junjung tinggi meski bukanlah sebuah janji, namun tetap terpatri dalam hati mereka sendiri-sendiri. :) *



* Tribute to:

"DEOT SELAMANYA"!! Iloveyouall. :')

Senang, sedih, capek, susah, semuanya kita jalani bersama ya.

Ingat, atas nama deot, kita bersama, berkawan selamanya..

(Aprilia Sasmar Putri, Ellanda Ayuwandira Panesthy, Febu Maristha Utari, Nesy Rahmasita, Lola Hawida, Rizki Tri Ananda)

Bayangan Bercerita


Bagi saya dan dunia saya, menulis adalah sebuah jiwa. Istilahnya obat bagi segala penyakit. Dari semua hal yang ada di dunia ini yang bisa digolongkan menjadi hobi itu hanyalah menulis.

Menulis mengenai apa saja, untuk apa saja, dan dimana saja, bahkan kapan saja. Contohnya sekarang, tepat tanggal 4 April 2008, bertempat dikamar saya yang "indah" versi saya sendiri, bertemaramkan lampu kerlap-kerlip bergambar ikan didalamnya, saya menuangkan segala ide yang ada di dalam otak saya ke secarik kertas. Meski ini bukanlah sebuah ritual, namun saya suka melakukannya terutama bila kantuk belum datang menghampiri saya.

Malam ini saya ingin menceritakan mengenai seorang perempuan "berumur" yang ternyata perilakunya tidak mencerminkan umurnya tersebut. Bila kita hanya melihat fisiknya sekilas, wajar kita akan menebak usianya berkisar usianya sesungguhnya. Namun, bila kita mengenalnya lebih jauh kita pasti akan menebak kisaran yang berbeda lagi. Disetiap harinya ia selalu bertingkah laku layaknya seorang anak kecil. Menyenangi bila ia juga merasa senang, namun sikap merajuknya juga terkadang "lebih menyenangi" lagi dibandingkan sifatnya yang biasa.

Beberapa orang bilang ia pernah terjatuh saat berada ditaman bermain kala ia masih berada di Sekolah Dasar, maka dari itu terkadang ia kurang bisa konsisten akan apa yang ada dalam dirinya. Ia bisa menjadi orang yang lebih dewasa dari umurnya atau bahkan lebih muda (jauh) dari umur sesungguhnya.

Pernah suatu hari ia menyakiti dirinya sendiri dengan menggunakan pisau belati yang ayahnya koleksi diruang tamu rumahnya hanya karena ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Padahal itu hanyalah sebuah arloji kecil hadiah sebuah chiki anak-anak yang bila ingin mendapatkannya kita harus membuka seratus bahkan seribu chiki terlebih dahulu.

Pernah juga ia melakukan suatu hal yang ganjal. Saat itu ia menghadiri sebuah pesta pernikahan saudaranya. Ia dan seluruh anggota keluarganya merencanakan akan mengenakan pakaian seragam saat menghadiri pesta tersebut. Namun, setelah berjalan setengah acara, ia tiba-tiba berujar, "Rasanya seperti anak kecil ya, menggunakan baju saja mesti seragam. Semuanya kan sudah dewasa, mengapa harus mau patuh dalam aturan yang sengaja dibuat untuk pengekangan kekreatifitasan ini...... (bla bla)." Ia mengucapkan semua itu dengan panjang lebar, tanpa titik dan koma, bahkan helaan nafas saja tidak. Bagaikan seseorang yang kritis, namun dalam waktu yang salah.

Saya mengakhiri tulisan itu untuk sementara. Rasa kantuk pun muncul juga. Namun sebelumnya saya melihat ke cermin terlebih dahulu, dan disana saya melihat ada sesosok bayangan yang tersenyum. Bayangan tersebut berujar, "Bila orang yang kamu ceritakan itu sebegitu begonya, lalu kamu apa? Kamu dan dia satu badan, satu jiwa, dan satu tingkah."

Dan semuanya pun gelap.

Minggu, 30 Mei 2010

(Menunggu) Menanti

Aku hanya kekasih yang berusaha setia
Aku hanya kekasih yang mencoba menunggu
Aku hanya kekasih yang berikhtiar menanti
Dan aku hanyalah kekasih yang menginginkanmu kembali

Salahkah aku berusah setia?
Salahkah aku untuk menunggunya?
Salahkah aku menantinya?
Dan bila aku benar salah untuk menginginkanmu, lalu aku harus apa?

Bila sebuah batu itu aku
Dan binatang yang kau sebut benar adanya
Hingga bunga yang pernah kau utarakan tak nyata
Aku akan tetap disini

Beratus-ratus kali engkau hancurkan hatiku
Beratus-ratus kali engkau hina diriku
Beribu-ribu kali juga aku akan memaafkanmu
Namun, beribu-ribu kali juga perih ini akan tetap selalu ada

Biar hati ini menetap
Biar rasa ini ada
Biar engkau pergi entah kemana
Namun, biarkan juga aku tetap disini, menunggu

Sabtu, 29 Mei 2010

Diary Cinta (Mini) Himala :)

May, 27th 2010 on 6.18 AM


Terkadang apa yang kita inginkan tidak semuanya bisa tercapai. Hanya sebagian mungkin, bisa jadi yang paling kecil. Gue ga pernah menyesal pernah kenal lu yang ngebantu gue (banget) buat ngelupain dendam gue kebajingan itu. Cuma satu hal yang gue sadari sekarang, sepertinya gue mulai punya perasaan SUKA ke lu. Bahkan kalau didekat lu aja rasanya ada getar-getar yang beda. Satu tweet yang mungkin bisa mencerminkan semua ini, "meskipun hatiku memilihmu..namun takkan bersatu..maaf sayang". Bener, bener banget. Trauma yang ada di diri gue dan mungkin juga ada di diri lu susah buat dihilangkannya. Meskipun sama-sama enjoy, cuma ga mungkin. Lebih baik gue pendam kan daripada gue yang sakit lagi? Lu orang kedua setelah ayah gue yang ngajarin gue tentang gimana gue mesti belajar dari pengalaman. Seiring waktu,biarkan kita begini dahulu. Bercengkerama dalam asa yang berbeda. Bersatu dalam imaji terindah. Ketika lu berhasil jadi pangeran dalam semua impian ini, disaat itu juga gue bakal jadi putri setia yang bakal nemenin lu, ngerawat dan ngilangin rasa sakit itu. Mungkin bisa dibilang adek-kakak, atau saudara ke saudara? Atau mungkn yang lainnya yang tidak bisa terjamah, semuanya ada. Dalam asa diri kita masing-masing.


Mala menutup diarynya, setelah menambahkan beberapa hiasan, dengan perasaan yang bercampur aduk. Senang, takut, rindu, kangen, dan semuanya. Memasuki suasana yang baru setelah hancur berkeping-keping. Namun ia percaya akan adanya keajaiban. Seperti namanya, "Himala" yang berarti "Keajaiban" dalam bahasa Filipina, ia akan selalu menunggu keajaiban yang selalu ada itu.