Rabu, 21 Juli 2010

Balada Cinta sang Penanya


Gue baru di sini. Baru kemarin menginjakkan kaki di sini, bahkan lingkungan sekitar gue saja belum sempat gue temui. Agak aneh memang. Anak seorang diploma terabsolute yang ada di negara ini, yang selalu mendapatkan apa saja yang ia mau, sekarang terdampar di kota kecil seperti ini. Dulu, waktu gue berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, perasaan nggak sesusah ini untuk beradaptasi. Damn! Kenapa harus ke kota sekecil ini sih gue diasingkan??!
Katanya gue mesti belajar dari kehidupan orang-orang disini. Haah.. Alasan! Kenapa nggak sekalian saja gue disuruh mengasing di kutub utara sana, kan lumayan juga, bisa bertemu salju yang dingin sekalian bukan orang-orang yang dingin seperti ini.
Kenapa urusan bokap mesti pindah ke sini?
Kenapa harta-harta keluarga gue nggak bisa bekerja disaat-saat genting seperti ini?
Kenapa gue nggak disuruh nyusul kak Dasta ke Australia saja?
Hufpht!

♪ ☺ ♫

Teet.
Teet.
Teeet.
Bel cempreng yang pastinya bakal buat gue sengsara itu berbunyi dengan lantangnya. Sial!! Bisa-bisanya dihari pertama ini jam weker gue ngadat! DAMN!! Once again I said, DAMN!!!
Sambil tergopoh-gopoh akhirnya gue berhasil mencapai ruangan paling ujung di tingkat dua dalam sekolah ini. Haah..
“Pagi Pak.”, senyum ramah gue selama ini belum ada yang bisa melawannya. Sayangnya itu nggak mempan dengan Bapak berkumis satu ini.
“Pagi pagi. Kamu tahu ini jam berapa? Kamu juga tahu sekolah ini masuknya jam berapa?!”, ujar Bapak itu. Jujur dari kumisnya saja gue berpendapat Bapak yang satu ini pasti galak mampus.
“Maaf Pak. Jam weker tadi pagi ngadat jadi bangun kesiangan deh Pak.”, bela gue.
“Tidak ada kata maaf, apalagi kamu murid baru bukan? Baik, anak-anak sekarang buka bukunya halaman 154. Tanggal berapa sekarang?”
Udah deh gue pasrah menerima semuanya. Hari pertama, jam pertama yang seharusnya gue sudah memperkenalkan diri gue dihadapan semua orang ini, malah sekarang gue dicuekin begitu saja. Sumpah! Awal yang benar-benar nggak asyik banget bagi gue.
Setelah hampir sepuluh menit gue berdiri di depan pintu masuk dengan tampang belo’on, akhirnya gue diacuhkan juga.
“Baik kamu, masuk.”, perintah Bapak berkumis itu. “Kamu tahu kesalahan kamu apa? Sekolah ini bukan milik nenek moyang kamu, jadi tidak bisa seenak jidat kamu datang ke sekolah ini. Semuanya ada peraturan. Untung kamu anak baru, biasanya saya tidak memperbolehkan anak yang datang terlambat untuk dapat mengikuti pelajaran saya. Jadi….”
Bla.. bla.. bla.. Gila juga ya nih guru. Terlambatnya cuma sepuluh menit, udah gitu disuruh berdiri sampai kaki gue serasa melayang semua, dan malah diceramahi sampai kuping gue pegal juga. Hari yang sial!, kutukku dalam hati.
“… Baiklah. Kamu sudah mengerti kan?”, tanya Pak Raden itu, tapi memang begitu adanya dan kujawab dengan anggukan kecil saja. “Baik, sekarang silahkan perkenalkan diri kamu ke teman-teman.”
Sial memang. Seorang Antrashya Prilsca Wibowo dipermalukan seperti ini dihari pertamanya sekolah. Seumur-umur belum pernah ada seorang guru yang berani seperti ini ke gue. DAMN! Awal yang “sangaat” baik, nggak tahu deh sampai kapan gue bakal tetap bertahan di kota ini.

♪ ☺ ♫

Sudah hampir lebih dari seminggu gue berada di kota yang super duper “dingin” ini. Cuacanya sih nggak bisa disebut dingin, karena memang suhu di kota ini tergolong tinggi, namun sikap dari masyarakatnya ini yang masih belum bisa gue mengerti. Dalam seminggu itu pula gue juga belum menemukan arti sesungguhnya dari perkataan Papi.
“Kamu pasti bisa belajar lebih menghargai orang lain di kota itu. Papi yakin kamu bisa Trash.”, perkataan terakhir Papi sebelum mendepak gue ke kota yang akan selalu gue ingat ini. But please, gue masih belum bisa menerjemahkan dari sisi mananya gue bisa belajar cara itu di kota ini. Dan satu hal, memangnya gue nggak bisa menghargai orang lain apa? Gue bisa kok. Yah, paling nggak Puschya dan Tanaya masih mau menjadi teman dekat gue kan?!
Trrt… Trrrt.. Trrrt..
Gue lihat layar handphone gue. Ada tulisan “AaaaPapzky calling…” tertera di sana.
“Hallo.”, ujarku menyapa Papi yang sekarang mungkin sedang sibuk dengan kertas segunungnya itu. Bukannya gue sok tahu, tapi ya memang itulah Papi. Pernah sekali waktu itu gue ke sana, tapi alhasil gue cuma disuruh duduk di ruangan Papi dan Papi pergi entah kemana bersama kertas-kertas dan urusannya.
“Trashya, biasakan pakai Assalamu’alaikum nya. Jangan cuma ‘Hallo’ saja.”, Papi menyerempet. Gilaa, baru juga satu kali itu gue ditelepon sudah diceramahi begini. Bukannya kangen dengan anak perempuan satu-satunya ini, malah diomeli seperti ini.
“Iya iya, maaf. Assalamu’alaikum Papi. Papi apa kabar? Sehat?? Mami?”, akhirnya bisa juga gue bersikap baik ditelepon begini. ‘Luar Biasa’.
“Alhamdulillah baik Trash. Kamu apa kabar nak?”
Alhasil hampir satu jam gue berbicara dengan Papi. Sempat beberapa kali Mami juga menimpali dan berbicara dengan gue. Dari seluruh isi pembicaraan gue menangkap sepertinya gue masih akan lama lagi berdomisili di kota terdingin yang pernah gue temui ini. Mami bilang beliau akan segera kemari, tapi entah kapan. Yang pasti tadi gue sempat mendengar isak tangis Mami saat menyudahi pembicaraan kami yang singkat itu. Kangen? Kalau memang iya pasti gue langsung ditarik kembali dari kota ini kan?!

♪ ☺ ♫

Hari ini adalah hari minggu ketiga gue berada di daerah ini. Huaaa!!! Ingin sekali rasanya gue berteriak meluapkan segalanya sekarang. Andai bisa lepas begitu saja, tapi ini susah sekali rasanya. Pernah merasakan dimana elu ingin sekali mencubit seorang anak kecil yang bermuka tembem, yang benar-benar membuat elu gemas banget, tapi nggak kesampaian karena dia anaknya tetangga elu yang galaknya minta ampun? Yah begitulah sekarang gue. Kepengen banget berteriak, tapi takut. Takut karena ini bukan daerah gue. Selama tiga minggu ini gue bertanya-tanya dalam hati. Banyak sekali pertanyaan yang ada dalam hati gue.
1. Kenapa gue mesti didepak ke kota ini?
2. Kenapa Papi sama Mami tega membiarkan gue sendirian tinggal di sini?
3. Kenapa Papi nggak menyewakan tempat yang lebih ‘pantas’ untuk gue tinggali, bukan gubuk derita yang sekarang gue tempati ini?
4. Kenapa mesti seorang anak diploma seperti gue harus terdepak ke sekolah yang menurut gue ‘low’ itu?
Masih banyak lagi pertanyaan yang bermulakan kata “kenapa” yang ada di pikiran gue. Dan pertanyaan yang paling mendasar dan meracuni pikiran gue adalah: “Kenapa seorang Antrashya Prilsca Wibowo sampai sekarang masih belum bisa ‘menaklukkan’ orang-orang baru disekitarnya??”. Pertanyaan yang satu ini benar-benar membuat gue bingung banget. Semua cara sudah gue lakukan, tapi hasilnya tetap saja NOL besar.
Suntuk dengan pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya sekarang gue memutuskan untuk berada di sini. Di tengah-tengah taman, yang kata orang-orang setempat sih memang begitu, tapi menurut gue lebih cocok disebut semak belukar dibandingkan taman, termenung sendirian.
Tiba-tiba dari kejauhan gue melihat sekelompok gadis berbaju muslimah sedang memegangi sebuah alat musik. Kalau tidak salah dulu neng Lastri, pembantu rumah tangga yang seumuran dengan gue, pernah menyebutkan namanya. Apa ya? Hmm, rabb.. rabb.. rabannna.. Ya ya, namanya ra-ba-na.
Tidak tahu apa yang dipikirkan hati gue, yang pasti sekarang gue ada di depan pintu masuk mushalla ini. Ada sekelompok muda-mudi yang berkumpul di tengah karpet merah di dalam sana. Well, gue nggak tahu apa yang akan mereka kerjakan dengan alat itu, tapi yang pasti satu hal. Lastri pernah bilang kalau alat itu selalu dimainkan sebagai alat musik tradisional dari Arab yang sering dimainkan di beberapa kota, dan mungkin saja salah satu yang dimaksud Lastri tadi adalah kota ini.
Sumpah! Posisi gue sekarang ini lebih bisa dibilang sebagai posisi seorang maling. Tapi, yah, apa boleh buat. Gue benar-benar penasaran akan apa yang mereka kerjakan di dalam sana.
Brak..
Semua orang di dalam sana melihat kearah gue. Damn! Kenapa pakai acara kesenggol pot bunga segala sih?! Alhasil sekarang gue menjadi pusat perhatian mereka.
Dengan tergopoh-gopoh, salah satu dari mereka membantu gue untuk berdiri. “Kamu tidak apa-apa?”, tanyanya.
Hanya gelengan kepala yang gue bisa lakukan untuk menandakan kalau gue baik-baik saja. Beneran deh, pernah nggak merasakan dimana elu ingin sekali masuk ke dalam tanah dan nggak muncul-muncul lagi untuk beberapa saat?! Itulah yang sekarang gue sedang rasakan. Malu euy, tertangkap basah saat mengintip, memecahkan pot bunga, dalam posisi yang benar-benar tidak enak seperti itu.
"Nama kamu siapa? Tinggal dimana?”, tanya gadis lainnya yang berbaju merah muda. Di alat yang ia pegang saat itu tertulis ‘Tatri’ dan tebakan gue sih itu adalah namanya.
Lagi-lagi gue cuma bisa menjawab dengan gelengan saja. SHIT! Kenapa gue jadi seperti orang bego begini sih?!
“Ya sudah bawa saja dia masuk Tri, beri dia minum. Sepertinya dia haus. Mari masuk..”, ajak gadis lainnya. Kalau yang satu ini namanya Anisa, paling tidak itu yang tertulis di alat yang ia pegang.
Gue duduk di pinggir mushalla. Memperhatikan latihan mereka. Pernah melihat orang yang bersemangat mengerjakan sesuatu hingga ia lupa akan segala hal yang ada? Itulah yang gue perhatikan sekarang. Mereka di sana terlihat seperti asyik sekali memukul-mukul alat yang mereka pegang. Entah itu hanya halusinasi saja, tapi gue bisa melihat ada aura yang berbeda keluar dari tubuh mereka saat mereka memukul alat itu sambil bersenandung seperti saat ini. Aura yang tidak bisa elu lihat hanya dengan kasat mata. Ini tuh benar-benar beda!

♪ ☺ ♫

Sudah berulang kali gue datang ke tempat ini. Pertamanya masih hanya melihat akan apa yang mereka kerjakan. Termasuk hal yang baru bagi gue. Dan sekarang gue diajak untuk ikut serta mereka bermain alat musik itu juga bersama-sama.
Kompangan. Ya, mereka menamainya seperti itu. Lucu, dan gue belum tahu artinya apa sampai saat ini. Whatever artinya, yang penting saat gue memainkan alat itu bersama mereka, rasanya ada sesuatu yang berbeda. Susah untuk diungkapkan dengan kata-kata. Pernah merasakan dimana elu puas banget akan suatu hal yang hanya elu yang bisa mengerjakannya? Nah, itulah yang sekarang gue rasakan. Ada kepuasan tersendiri saat gue berhasil melakukannya. Ya, terlihat mudah sebenarnya dari luar, tapi kalau elu salah nada sedikit saja pasti yang akan terdengar bunyi yang aneh. Dan itu pasti akan merusak nada-nada yang berarti sesungguhnya menjadi arti yang lain.

♪ ☺ ♫

Tiga bulan kemudian…
Benar apa yang Papi bilang. Kota ini memang berbeda. Dari luarnya sih terlihat seperti kota kecil biasa yang tidak ada artinya. Bahkan mungkin kalau kita tanyakan pada orang lain yang ada di kota besar sana tentang kota ‘Jambi’ pasti hanya sebagian kecil saja yang mengetahuinya. Meskipun begitu, kota ini memberikan pengaruh yang besar kedalam hidup gue.
Mengenal arti dari perjuangan agar dapat survive hidup sendirian yang baru pertama kali gue lakukan, bertemu dengan orang-orang yang dingin dan mencari cara untuk dapat menaklukkannya, sampai akhirnya sekarang gue mengerti bagaimana pentingnya rasa peduli akan sekitar itu.
Dari merekalah gue belajar semuanya. Gue?? Bukan, bukan gue, tapi aku. Itu lebih sopan kata mereka saat pertama kali gue, eh aku maksudnya, berbicara dengan mereka. Katanya, sebutan gue itu tidak sopan dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menerimanya. Alhasil sekarang gue, eh aku, sudah mulai terbiasa menyebut diriku sendiri dengan sebutan aku bukan gue.
Perubahan kecil, tapi berdampak besar. Di sekolahan sekarang aku sudah mulai mempunyai teman yang sesungguhnya. Kata mereka, dulu mereka segan mendekatiku karena aku menyebut diriku ini dengan sebutan gue dan itu membuat mereka risih untuk berteman denganku. Dan sekarang, hanya dengan merubah hal yang sedikit itu saja aku bisa memiliki teman di sekolah itu. Ternyata pikiranku selama ini tentang anak-anak di kota ini yang super dingin itu salah. Bukan mereka yang dingin, tapi aku yang terlalu menutup diri untuk menghangatkan semuanya.
Tahu? Sekarang aku sedang ada di tengah-tengah perlombaan rabana. Bangga sekali rasanya ada suatu hal yang bisa aku lakukan di sini. Kami sedang berkompetisi untuk meraih kejuaran tingkat daerah, maka dari itu sekarang aku ada di sini. Bagiku, tidak terlalu penting menang atau kalahnya, namun kepuasannya itu yang selalu berhasil membuatku nyaman. Menyerasikan bunyi dengan yang lain itu tidak gampang. Sama halnya seperti saat kita harus peduli dengan kehidupan orang lain di sekitar kita agar kita pun juga bisa berjalan di kehidupan kita dengan lancar.
Terlalu berlebihan mungkin, tapi aku merasakan seperti jantungku juga ikut berbunyi. Senada dengan pukulan yang aku lakukan. Indah, damai. Sedamai hatiku saat ini yang mengetahui betapa pentingnya kepedulian terhadap orang lain. Kata tanya kenapa itu masih bersarang dihatiku. Namun kali ini berbeda.
‘Kenapa baru sekarang aku menyadari indahnya dunia dan hidup kebersamaan, bukannya sedari dulu saja?’
Itu yang saat ini masih ada di dalam benakku. Entahlah apa jawabannya, mungkin hanya Dia yang mengetahuinya, yang pasti kini aku berada di sini. Menemukan balada cintaku di sini. Di kota ‘terdingin’ yang sebenarnya memiliki hati yang hangat di dalamnya. Aku belajar untuk lebih peduli lagi, dan untuk itulah aku berada di sini. Di tempat ini.
Yah, di sini……






GLOSARIUM

Gue : Sebutan untuk saya atau aku di kota-kota besar.
Absolute : Hebat, mahir.
Nggak : Singkatan kata dari tidak.
Damn : Sial.
Bokap : Sebutan untuk ayah di kota-kota besar.
Nyusul : Singkatan kata dari menyusul.
Hufpht : Helaan nafas karena kecewa akan sesuatu.
Ngadat : Macet, rusak, tidak berjalan dengan sempurna.
Once again I said : Sekali lagi saya katakan.
Haaah.. : Helaan nafas tanda lega.
Galak mampus : Galak sekali.
Udah : Singkatan kata dari sudah.
Deh : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Sih : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Banget : Sekali.
Bla.. bla.. bla.. : Tidak mempunyai arti, kiasan untuk suatu pikiran atau
pembicaraan yang panjang.
Nih : Singkatan kata dari ini.
Gitu : Singkatan kata dari begitu.
But please : Tapi tolong, seperti orang yang tidak menerima akan suatu hal.
Kok : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Handphone : Alat komunikasi berupa telepon genggam seluler.
Assalamu’alaikum : Sapaan bagi seorang muslim saat ia bertemu atau memulai
pembicaraan dengan muslim lainnya.
Huaaa! : Tidak mempunyai arti, kiasan untuk mendeskripsikan suatu
teriakan.
Elu : Sebutan untuk kamu di kota-kota besar.
Neng : Sebutan untuk seorang gadis.
Well : Baiklah.
Brak.. : Kiasan untuk mendeskripsikan bunyi sesuatu yang jatuh.
Euy : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Shit : Benar-benar sial, lebih kasar dari kata damn.
Tuh : Singkatan kata dari itu.
Whatever : Terserah.
Nah : Tambahan dalam suatu kalimat yang tidak mempunyai arti,
berfungsi untuk menekankan kalimat itu saja.
Survive : Bertahan.
Super : Sangat.


Selasa, 20 Juli 2010

Bukan Romeo dan Juliet


Ini hanya sebuah kisah kasih sepasang remaja labil yang baru mencoba mengenal apa itu artinya cinta. Bukan sebuah hal yang penting untuk dicerna, namun benar adanya bila kita bisa mengamati apa yang terjadi diantara keduanya.

Bertemu awalnya disebuah acara di stasiun radio ternama di kota tersebut. Kata pertama yang terlintas dikedua benak masing-masing adalah "sombong", entah itu untuk si laki ataupun sang perempuannya. Setelah mencoba untuk saling bercengkerama dibeberapa menit pertama bertemu, akhirnya mereka bisa merasakan satu rasa yang muncul dimasing-masing benak, khususnya sang perempuan. Getar "cinta" (?), mungkin.

Hampir tiga bulan mereka terlepas dan tidak pernah mengacuhkan rasa yang 'sempat' muncul tersebut, hingga akhirnya merekapun bertemu lagi disuatu kesempatan. Berawal dari sana, banyak kesempatan penggugah pun terjadi begitu saja. Tanpa disengaja, rasa yang bertitle kan 'sempat' itupun merekah.

Banyak rintangan yang mereka temukan, mulai dari saat pertama kali mereka harus sama-sama jujur akan perasaan mereka masing-masing yang diwarnai dengan konflik tersendiri, hingga saat dimana mereka harus berulang-ulang kali terjatuh dan terbangun saat mereka sama-sama belajar mengenal hubungan mereka dan diri mereka yang satu dengan yang lainnya.

Ini memang bukanlah kisah "Romeo dan Juliet" yang berhiaskan seribu bahkan sejuta konflik namun tetap romantis, bukan juga "Cinderella" dan pangerannya yang ceritanya mulus hingga mendapatkan akhir "bahagia selamanya". Namun kisah mereka ini mungkin bisa diibaratkan seperti sepasang mata. Dengan bentuk yang sama, sifat yang sama, letak yang sama, keduanya mencoba untuk melihat pada satu titik yang sama. Semakin seringnya mereka menyamakan perbedaan dan membedakan persamaan, semakin mereka susah untuk dapat berjalan beriringan.

Ya benar, mereka hanyalah anak muda yang sedang BELAJAR mengenal arti kehidupan, khususnya apa itu artinya Ce I En Te A. Mereka mencoba untuk memahami satu dengan yang lainnya meskipun beribu-ribu bahkan berjuta-juta batu kerikil hingga batu besar dihadapan menghadang mereka. Ini bukanlah kisah Samson dan Delila, bukan juga kisah Mickeymouse dan Minimouse yang berakhir bahagia. Meski kisah yang sesungguhnya belum selesai dan belum pantas untuk dibicarakan akhirnya, namun mereka, khususnya sang perempuan, yakin kisahnya akan mempunyai akhir tersendiri. Entah bahagia seperti kisah "Snow White" dan pangerannya ataupun tragis ibarat, yah "Romeo dan Juliet" tentunya. :')



Dedicated for:
My *201208*
We'll see what'll happen to us on another day. We've learnt many things with our own ways. ILU. I've done my best for you. Maybe this's the last time I may remember you in both my real and my fake life, or maybe this's the beginning for us to step further. (^_^)